Selasa, 14 Desember 2010

Mie Basah dan Mie Instant

     Mie termasuk produk olahan tepung terigu yang sangat digemari, mudah diolah menjadi berbagai produk, dan bersifat mengenyangkan sehingga dapat dijadikan pengganti nasi. Mie dengan bahan dasar utama tepung terigu dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu mie basah dan mie instant.
     Mie basah mentah (mie segar) merupakan untaian mie hasil dari pemotongan lembaran adonan, tanpa perlakuan pengolahan lanjutan, biasanya digunakan untuk mie ayam. Kadar air mie ini 35% dan biasanya ditaburi dengan tapioca untuk menjaga agar mie tidak saling lengket. Mie matang (mie kuning) dihasilkan dari mie mentah yang dikukus atau direbus dan umumnya digunanak untuk mie baso. Kadar air mie matang sekitar 52%, dan biasanya setelah pengukusan dicampur dengan minyak sayur untuk mencegah lengket. Mie kering berasal dari mie mentah yang dikeringkan dengan kadar air sekitar 10%. Pembuatan mie ini umumnya dengan menggunakan bahan telor, sehingga dikenal dengan sebutan mie telor.
     Mie instan atau mie siap hiding dibuat dari untaian mie (mie mentah) yang dikukus dan dikeringkan. Proses pengukusan dan pengeringan, akan memodifikasi pati sehingga dihasilkan tekstur mie kering yang porous dan mudah direhidrasi. Mie instan yang diproses dengan teknik penggorengan memiliki kadar minyak 15-20% dengan kadar air 2-5%, dan yang dikeringkan dengan udara panas memiliki kadar minyak 3% dengan kadar air 8-12%.
     Pada dasarnya mie basah dibuat dari bahan dasar terigu, air, garam, dan bahan tambahan kansui yang mengandung natrium hidroksida dan garam alkali (member karakteristik mie yang kekuningan, flavor alkali, pH yang tinggi, dan memperbaiki tekstur : memperkuat, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas tekstur mie). Penambahan biasanya 1% hingga 1.5% dari berat terigu. Garam dapur juga ditambahkan ke dalam adonan dalam jumlah sekitar 0.5-1.5% berat terigu.
     Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mie adalah gluten. Gluten dapat dibentuk dari gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya.
     Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten.  Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6 – 9, hal ini disebabkan absorpsi air makin meningkat dengan naiknya pH. Makin banyak air yang diserap, mie menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang baik.
     Garam berperan dalam memberi rasa,  memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mieserta mengikat air. Garam dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan. 
Beberapa produsen menggunakan telur dalam formulasi adonan mie. Penggunaan telur selain meningkatkan kandungan protein, juga berfungsi untuk membentuk adonan menjadi lebih liat dan tidak mudah putus. Hal tersebut terkait dengan sifat emulsifier dari kuning telur. Kuning telur juga member warna kuning pada mie.

   Tahapan pembuatan mie terdiri dari tahap pencampuran, roll press (pembentukan lembaran), pembentukan mie, pengukusan, penggorengan, pendinginan serta pengemasan. 
Tahap pencampuran bertujuan agar hidrasi tepung dengan air berlangsung secara merata dan menarik serat-serat gluten.  Untuk mendapatkan adonan yang baik harus diperhatikan jumlah penambahan air (28 – 38 %), waktu pengadukan (15 – 25 menit), dan suhu adonan (24 – 40oC). 
     Proses  roll press (pembentukan lembaran) bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membuat lembaran adonan. Pasta yang dipress sebaiknya tidak bersuhu rendah yaitu kurang dari 25oC, karena pada suhu tersebut menyebabkan lembaran pasta pecah-pecah dan kasar. Mutu lembaran pasta yang demikian akan menghasilkan mie yang mudah patah. Tebal akhir pasta sekitar 1,2 – 2 mm.  Di akhir proses pembentukan lembaran, lembar adonan yang tipis dipotong memenjang selebar 1 – 2 mm dengan rool  pemotong mie, dan selanjutnya dipotong melintang pada panjang tertentu, sehingga dalam keadaan kering menghasilkan berat standar. 
     Setelah pembentukan mie dilakukan proses pengukusan. Pada proses ini terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mie. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks  pati dan gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat. Pada proses selanjutnya, mie digoreng dengan minyak pada suhu 140 – 150oC selama 60 sampai 120 detik. Tujuannya agar  terjadi dehidrasi lebih sempurna sehingga kadar airnya menjadi 3 – 5 %. Suhu minyak yang tinggi menyebabkan air menguap dengan cepat dan menghasilkan pori-pori halus pada permukaan mie, sehingga waktu rehidrasi dipersingkat. Teknik tersebut biasa dipakai dalam pembuatan mie instan. 
     Setelah digoreng, mie ditiriskan dengan cepat hingga suhu 40oC dengan kipas angin yang kuat pada ban berjalan. Proses tersebut bertujuan agar minyak memadat dan menempel pada mie. Selain itu juga membuat tekstur mie menjadi keras. Pendinginan harus dilakukan sempurna, karena jika  uap air berkondensasi akan menyebabkan tumbuhnya jamur. Pengeringan dapat juga dilakukan menggunakan oven bersuhu 60oC sebagai pengganti proses penggorengan, dan mie yang diproduksi  dikemas dengan plastik.

SUMBER:
Modul praktikum Teknologi Pengolahan Pangan 3-SJMP-IPB

========================================================================
     Sangat mengherankan. Produk ekspor Indonesia yang berkualitas, baru-baru ini dikatakan mengandung bahan berbahaya salah satunya yakni Nipagin atau sering kali disebut Methyl Para-hidroxy Benzoat. Temuan ini dilaporkan oleh pemerintah Taiwan menyusul kemudian dilakukannya sweeping dan penarikan besar-besaran terhadap semua produk mie instan dari pasaran negara tersebut.
     Perlu diketahui bahwa standar produk tersebut khususnya pada kandungan Nipagin ternyata sudah sesuai dengan standar Codex Alimentarius Commission (CAC), suatu badan yang didirikan oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Menurut Balai POM Indonesia, standar ini pun sudah sesuai dengan kelayakan konsumsi masyarakat Indonesia. Beberapa patokan kadar maksimum Nipagin di beberapa negara di dunia sebagai berikut:
1.Hongkong: Nipagin yang diperbolehkan 550 mg/kg BB
2.Brunei Darussalam: Nipagin yang diperbolehkan 250 mg/kg BB
3.Indonesia: Nipagin yang diperbolehkan 250 mg/kg BB
4.Singapura: Nipagin yang diperbolehkan 250 mg/kg BB
5.Amerika Serikat: Nipagin yang diperbolehkan 1000 mg/kg BB
     Standar Nipagin Indonesia 250 mg/kg berat badan sudah sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa. Hal ini cukup disayangkan oleh berbagai pihak terutama kalangan bisnis yang mengetahui hal ini sebagai suatu taktik tersendiri dari pihak pemerintah Taiwan mengingat produk mie instan dalam negeri mereka memang kalah saing terhadap mie instan luar, khususnya In**mie. Produk mie instan In**mie dikenal luas masyarakat Taiwan sebagai produk yang paling murah, paling sederhana, mie yang lebih padat dan rasanya yang enak. (http://id.shvoong.com/medicine-and-health/nutrition/2062208-kasus-indomie-terindikasi-perang-bisnis/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar